Oleh : Harsja W. Bachtiar (Universitas
Indonesia)
Riwayat yang disampaikan di bawah ini adalah riwayat
seorang pemuda Minangkabau yang bejiwa kebangsaan Indonesia dan dalam
masa gerakan kebangsaan menjadi seorang cendekiawan dan tokoh politik di
daerah Sumatera Timur bahkan ikut mewakili Sumatra dalam mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan meletakkan
dasar-dasar negara Republik Indonesia di Jakarta. Akan tetapi akhirnya,
antara lain, karena istrinya orang Belanda dan dia sendiri kemudian
tidak dapat mengendalikan semangat perjuangan menggelora dari penduduk
yang ikut dibangkitkannya dalam usaha mengadakan perombakan tatanan
masyarakat di daerah Sumatera Timur, tokoh ini terpaksa meminta
perlindungan, pada pihak lawan, penguasa Inggris dan Belanda di Medan,
yang dapat ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap bangsanya.
Mohamad
Amir lahir tanggal 27 Januari 1900 sebagai anak tunggal sepasang
suami-istri yang berdiam di Nagari Talawi, suatu perkampungan di pinggir
sungai Ombilin dekat kota pertambangan batubara Sawahlunto di Sumatera
Barat. Ayahnya ialah M Joenoes Soetan Malako, yang meninggal di Talawi
tahun 1940, sedangkan, ibunya yang bagi orang Minangkabau, sesuai dengan
adat yang menentukan keanggotaan dalam keluarga atas dasar garis
keturunan ibu, adalah lebih penting daripada ayahnya, ialah Siti Alamah
yang meninggal di Jakarta, 1958. Siti Alamah, ibunya, adalah anggota
dari Suku Mandaliko di Nagari Talawi, sehingga Moh. Amir pun adalah juga
anggota Suku Mandaliko.
Pada waktu masih berusia anak sekolah, M.
Amir dibawa oleh abang ibunya, Mohammad Jaman gelar Radjo Endah, seorang
guru yang dipindahkan ke Palembang, ke kota di tepi sungai Musi. Selain
membawa istri, anak-anaknya, dan M. Amir, guru Jaman juga membawa dua
kerabat muda lain yang kurang lebih seusia dengan M. Amir, yaitu Mohamad
Jamin dan Djamaloedin yaitu adik sebapak dari guru Jaman tapi berlainan
ibu. Ayah guru Jaman bernama Osman gelar Baginda Chatib dan mempunyai
beberapa istri. Guru Jaman, yang lahir tahun 1878, adalah anak dari
istri yang bemama Hadaniah; Moh. Jamin, yang lahir tahun 1903, adalah
anak ketiga dari istri bernama Saadah; sedangkan Djamaloedin, yang lahir
tahun 1904, adalah anak tunggal dari istri yang bemama Sadariah.
Di
Palembang M. Amir belajar sebagai siswa Hollandsch Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar yang diselenggarakan terutama bagi anak-anak
pribumi, tetapi sebelum tamat HIS di Palembang, M. Amir pindah ke
Batavia (kini: Jakarta) di sana ia meneruskan pendidikan dasarnya di
Europeesche Lagere School (ELS), jenis sekolah dasar yang
diselenggarakan terutama bagi anak-anak Belanda, sampai tamat sekolah
dasar tahun 1914.
M. Amir meneruskan studinya di jenjang pendidikan
menengah tingkat pertama pada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di
sana ia tamat belajar tahun 1918 untuk kemudian melanjutkan
pendidikannya pada School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia),
sekolah pendidikan calon dokterr bagi pemuda-pemuda pribumi, juga di
Batavia. Tanggal 8 Desember 1917 di Batavia seorang siswa di STOVIA yang
berasal dari Sumatra Timur, Tengkoe Mansoer, bersama M. Amir dan
sejumlah siswa lain yang berasal dari pulau Sumatra mendirikan suatu
perhimpunan pemuda yang berasal dan pulau Sumatra, perhimpunan yang
dinamakan Jong Sumatranen-Bond (JSB), mengikuti contoh Jong Java,
perhimpunan pemuda yang berasal dari Jawa yang telah didirikan dua tahun
lebih dahulu. Para pemuda Sumatra inipun bergabung untuk bersama-sama
berusaha mempersiapkan diri sebagai penggerak upaya memperbaiki taraf
kehidupan penduduk di daerah asal mereka.
Dalam waktu satu tahun,
menurut majalah Pemoeda Soematra yang mulai diterbikan oleh Pengurus JSB
sejak 1918 dengan pemuda M. Amir sebagai redaktur, jumlah anggota
perhimpunan ini telah menjadi sekitar 500 orang yang tergabung dalam
afdeeling (cabang) perhimpunan di Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi,
Bandung, Purworejo, Padang dan Bukittinggi dengan cabang di Jakarta
serta Padang yang paling banyak anggotanya.
M. Amir, tergerak oleh
surat-surat kabar dan majalah-majalah dalam bahasa Belanda maupun bahasa
Melayu yang tersedia di STOVIA sebagai bahan bacaan bagi para siswanya,
juga menulis karangan-karangan yang diterbitkan dalam Warta Hindia.
Pemuda im memperoleh bimbingan dalam mengembangkan bakat sebagai
pengarang dari seorang penerbit yang juga berasal dari Sumatra Barat
bernama Landjanoen gelar Datoek Temenggung, penerbit majalah bulanan
Soeloeh Paladjar, majalah Tjahaja Hindia, dan kemudian harian Neratja.
Pada
rapat tahunan pertama dari JSB, yang diselenggarakan di Batavia tanggal
26 Januari 1919, pemuda T. Mansoer terpilih sebagai Praeses (Ketua) dan
pemuda M. Amir sebagai Wakil Praeses. A. Moenier Nasution teipilih
sebagai Sekretaris 1; Bahder Djohan sebagai Sekretaris 2; Marzoeki
sebagai Bendaharawan; sedangkan Abdullah Zakir, Achmad Djonap, Jasin dan
Nazief terpilih sebagai Anggota Pengurus.