Dibawah ini sedikit informasi tentang ‘keberadaan’ film Kantata Takwa yang dapat saya bagi untuk semuanya.
Catatan:
Kantata
Takwa adalah nama sebuah grup musik. Anggotanya adalah Setiawan Djody,
WS Rendra, Iwan Fals, Yockie Suryoprayogo dan Sawung Jabo. Album Kantata
Takwa beredar pada tahun 1990. Konsep musiknya begitu megah dan
berkualitas tinggi dengan Iwan Fals sebagai vokalis utama dan WS Rendra
yang mendominasi penulisan lirik. Sebuah perpaduan yang bisa dibilang
sempurna antara para musisi handal negeri ini. Lirik lirik dalam album
perdana ini mengusung tema kritis. Kantata Takwa masih dianggap sebagai
grup musik papan atas Indonesia. Meskipun sekarang sudah bubar,
kehadirannya semakin memperkaya warna musik Indonesia. (sb)
Penjelasan yang diberikan Yockie Suryoprayogo kepada saya melalui PM beberapa waktu yang lalu.
jsops wrote on Apr 2
Film Kantata memang sebagian ada yang sdh rusak (lengket dan berjamur karena tempat penyimpanannya lembab dan bocor kena hujan). Tetapi berkat kemajuan tehnologi maka sebagian besar gambar film tersebut melalui proses digitalisasi di Sydney berhasil diselamatkan.
Selanjutnya setelah melalui editing kembali olah mas Slamet Rahardjo / Gotot Prakosa dan Jojo, maka film semi dokumentar tersebut sudah layak untuk dihadirkan ditengah masyarakat.
Rencananya April 2008 ini film tersebut terlibat dalam festival film di Singapura dan akan diteruskan di Sydney. Menurut kabar yg saya dengar, film tersebut juga menarik perhatian kalangan sineas di Amerika bahkan mereka juga meminta agar film tersebut turut dalam beberapa event disana (saya belum jelas event nya apa)
Saya sendiri sudah memiliki copynya untuk tambahkan beberapa ilustrasi musik yang diperlukan.
jsops wrote on Apr 2
Film Kantata memang sebagian ada yang sdh rusak (lengket dan berjamur karena tempat penyimpanannya lembab dan bocor kena hujan). Tetapi berkat kemajuan tehnologi maka sebagian besar gambar film tersebut melalui proses digitalisasi di Sydney berhasil diselamatkan.
Selanjutnya setelah melalui editing kembali olah mas Slamet Rahardjo / Gotot Prakosa dan Jojo, maka film semi dokumentar tersebut sudah layak untuk dihadirkan ditengah masyarakat.
Rencananya April 2008 ini film tersebut terlibat dalam festival film di Singapura dan akan diteruskan di Sydney. Menurut kabar yg saya dengar, film tersebut juga menarik perhatian kalangan sineas di Amerika bahkan mereka juga meminta agar film tersebut turut dalam beberapa event disana (saya belum jelas event nya apa)
Saya sendiri sudah memiliki copynya untuk tambahkan beberapa ilustrasi musik yang diperlukan.
Jumpa pers saat konser "Kesaksian" tahun 2003 di Jakarta
(kiri-kanan) Yockie Suryoprayogo, WS Rendra, Setiawan Djodi, Iwan Fals dan Sawung Jabo
(kiri-kanan) Yockie Suryoprayogo, WS Rendra, Setiawan Djodi, Iwan Fals dan Sawung Jabo
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel dari Radio Singapore International
Pemutaran Perdana Film Kantata Takwa di Singapura
April 10, 2008
Setelah
18 tahun, Film Kantata Takwa karya Gotot Prakosa akhirnya dirilis. Film
kontroversial tersebut diputar perdana di Festival Film Internasional
Singapura ke-21. Apa yang membuatnya controversial? Dan mengapa pula
butuh waktu lama untuk dirilis? Mozaik kali ini mengulasnya bersama saya
Vina Mubtadi.
Kalau anda mengira film Kantata
Takwa bercerita mengenai perjalanan karir kelompok musik legendaris
Kantata Takwa, maka anda salah. Karena film ini, lebih dari itu. Film
Kantata Takwa, menurut salah satu sutradaranya, Gotot Prakosa, adalah
Puisi. Puisi yang divisualisasikan.
Adalah
puisi berisi kritikan-kritikan pedas terhadap rezim orde baru yang
dituangkan dalam bentuk teaterikal dan musical, yang dikemas menjadi
sebuah film berdurasi 95 menit.
Gotot Prakosa, salah satu sutradaranya, menjelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang film ini:
“Sebetulnya
film ini disyut tahun 1990 mulainya. Ini sudah 18 tahun. Sutradaranya
sebenarnya hanya dua orang, saya dan Eros Djarot saja. Sementara Slamet
sebagai supervisor karena saat itu fungsinya lebih ke supervisi. Film
ini menggambarkan masa orde baru, jadi latar belakangnya tentang
bagaimana penculikan manusia-manusia kreatif di Indonesia, dihilangkan
dengan istilah penembakan misterius (Petrus), kemudian juga kasus-kasus
banyak di Sumatera, Jawa Timur, juga di sekitar Jawa ada banyak
pembunuhan dan penculikan, tokoh-tokoh kreatif yang hilang. Kemudian
juga banyak ide-ide kreatif yang dibungkam waktu itu karena masa rezim
orde baru. Kemudian kita para seniman dan pembuat film berkumpul awal
90-an, ada sastrawan seperti WS Rendra, musisi Sawung Jabo, Iwan Fals,
Jockie Suryoprayogo, dan musisi sekaligus industrialis Setiawan Djodi,
yang punya dana besar. Kita sudah shoot kira-kira sampai 1994, karena
itu kan semacam
pertunjukkan-pertunjukkan dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang
menakutkan pada masa itu, kemudian kita rekonstruksi dengan cara yang
menurut kita sesuai pada masa itu.”
Ya, tentu masih ingat dalam
ingatan, bagaimana orang-orang yang mengkritik pemerintah orde baru,
hidupnya berakhir tragis dalam penjara, bahkan mungkin tanpa melewati
proses pengadilan yang adil. Hal tersebut dituangkan dalam film Kantata
Takwa lewat rekonstruksi yang teaterikal. Saat bercerita mengenai sebuah
proses pengadilan misalnya, Gotot menggambarkan sang hakim mengenakan
topeng dengan berbagai wajah. Sementara si terdakwa, yang diperankan
oleh WS Rendra, duduk di dalam sebuah sangkar raksasa. Rendra berkata
“Saya akan diam. Namun kreatifitas tidak bisa dibungkam.”
Digunakannya rekonstruksi secara teaterikal bukannya tanpa alasan. Kembali, Sutradara Gotot prakosa menjelaskan:
“Kita
tidak berani menampilkan umpamanya tentang tentara, karena saat itu
masih gawat. Saat itupun film kita tidak boleh dirilis karena mengkritik
jaman itu pasti kita dihilangkan juga. Karena itu kita buat tentara itu
dengan symbol-simbol seperti orang dengan masker. Kita simbolisasikan
semuanya secara puitis, karena kebetulan pada masa itukan WS
Rendra juga sering dicekal dan masuk penjara juga. Kemudian Dia membuat
pertunjukkan yang membuatnya masuk penjara selama beberapa tahun. Nah
setelah keluar itu kita bikin acara ini Kantata Takwa. Bentuknya
Pertunjukkan musik tapi sebetulnya ada teaternya, puisinya, tari, dan
sebagainya.”
18 tahun. Itulah waktu
yang dibutuhkan mulai dari proses shooting hingga akhirnya film Kantata
Takwa bisa disaksikan publik. Maklum, mengingat film ini berisi kritikan
dan sindiran terhadap pemerintah saat itu, terkendala banyak hal.
Selain sempat dilarang peredarannya oleh pemerintah, film ini juga
terkendala hal-hal lainnya.
Salah satu sutradara Kantata Takwa, Gotot Prakosa menceritakan apa yang dialaminya:
“Dan
semenjak itu film itu di-banned, berkali-kali dapat pesan jangan
dirilis dulu, akhirnya film itu masuk gudang lama sekali, sampai krhsis
muncul, semakin sulit lah kita mencari dana untuk menyelesaikan film
itu. Walaupun ada Setiawan Djodi yang seorang industrialis, tapi
ternyata dia tidak terlalu care terhadap film itu. Jadi akhirnya kita
selesaikan tahun kemarin, saya berpikir ketika mau membuat film baru
lagi, dana ngga ada, jadi saya putuskan saya rilis dengan digital. Saya
harapkan rilis di Singapura ini akan menjadi tonggak, baru rilis di Indonesia.”
Ngomong-ngomong, dengan
dirilisnya film Kantata Takwa, apakah artinya anda tidak khawatir film
ini akan di-banned oleh pemerintah Indonesia saat ini?
Gotot Prakosa…
Gotot Prakosa…
“Saya kira di Indonesia jaman
sekarang jaman reformasi sudah lebih terbuka. Banyak film yang lebih
sadis dibanding film saya. Karena film-film yang lebih sadis itu mungkin
film-film takhyul, hantu-hantu lebih violence dibanding film saya. Film
saya lebih semacam puisi visual.”
Dan
setelah melalui berbagai cobaan, akhirnya film Kantata Takwa diputar
perdana di hadapan public di Museum Nasional Singapura, tepatnya di
ajang Festival Film Internasional Singapura ke-21. Film ini juga menjadi
salah satu dari 12 film yang dikompetisikan dalam festival dan
memperebutkan Silver Screen Award. Lalu kesan apa yang didapat oleh
penonton usai menyaksikan film ini?
Arvi Alibi, seorang warga Indonesia yang menonton filmnya di Singapura, berbagi pandangannya:
Arvi Alibi, seorang warga Indonesia yang menonton filmnya di Singapura, berbagi pandangannya:
“Filmnya
menurut saya mungkin sedikit terlalu tinggi karena saya bukan orang yang
terlalu abstrak. Cuma mungkin kalau dilihat dari segi seniman, itu
memang tujuannya untuk orang-orang yang memang bekerja di bidang seni
jadi pendekatannya berbeda.”
Ya, memang
film ini sangat idealis dan jauh dari kesan komersial. Tidak ada jalan
cerita. Dialog-dialognya dituturkan lewat puisi, teater, dan lagu.
Usai dari Singapura, rencananya, film Kantata Takwa juga akan diputar di hadapan publik Indonesia. Kapan tepatnya? Gotot Prakosa menjelaskan:
“Saya
kira, setelah 10 hari dari Singapura, saya merencanakan sama
teman-teman roadshow ke daerah-daerah. Tempat-tempat dimana, misalnya
Jawa Timur itu ada tempat-tempat dimana banyak orang dihilangkan waktu
itu. Mungkin itu bukan membuat trauma baru tapi membuat semacam
reminding bahwa sesuatu itu sudah lama terjadi dan menjadi sejarah saja.
Seperti halnya film ini sudah menjadi legenda dimana-mana bahwa film
ini dibuat oleh sineas Indonesia yang terkatung-katung sampai akhirnya baru 18 tahun kemudian dirilis.”
Saudara, film Kantata Takwa berbeda dari film-film yang banyak menghiasi sinema Indonesia saat
ini. Kalau anda penasaran, silahkan nantikan filmnya dan biarkan karya
seni tersebut bercerita untuk anda. Sekian Mozaik yang memotret seni dan
budaya yang ditampilkan di Singapura, persembahan Radio Singapura
Internasional siaranIndonesia. Saya Vina Mubtadi.
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: