Bukan
hanya mirip dalam soal rambut gondrong dan kumis lebat, tapi juga dalam
sikap yang ’revolusioner’. Mereka sama-sama ikonik di zaman dan tempat
berbeda. Che sudah lama mati
, dan Iwan
sudah tak segalak ketika ia berteriak ”Bongkar!” atau ”Bento!”. O ya,
Iwan pun sudah tak memelihara kumis sekarang dan tak gondrong macam
dulu.
Masih ada yang sama antara mereka: masa revolusioner Iwan dan Che sudah lewat.
Film Kantata Takwa memang
lewat 18 tahun dari waktu rilis yang seharusnya. Film yang pasti
memecahkan rekor dalam rentang waktu antara syuting hari pertama
(Agustus 1990) dan pemutaran publik perdananya (April 2008), akhirnya
bisa bersentuhan juga dengan publik. Setelah tertunda sekian lama sampai
terendam banjir segala,Singapore International Film Festival tahun ini mendapat kehormatan menjadi tempat world premiere film dengan banyak nama seniman besar Indonesia itu.
Film
ini sempat muncul di daftar film penting yang tak selesai; seakan
sebuah janji bahwa sebuah gagasan luar biasa dicatat di dalamnya.
Nama-nama besar (ketika itu dan mungkin sampai kini) ada di sana. Kredit
penyutradaraan jatuh pada dua nama: Eros Djarot yang legendaris dengan Tjoet Njak Dhien dan musik Badai Pasti Berlalu,
dan Gotot Prakosa sang pelopor animasi eksperimental negeri ini.
Supervisi ada pada Slamet Rahardjo. Pendukungnya juga tak
tanggung-tanggung. Cast-nya diisi dengan nama besar seperti Penyair Burung Merak Rendra, Sawung Jabo, pengusaha-cum-musisi Setiawan Djodi; dan tentu Iwan Fals sendiri. Scoring musik
dipegang oleh Jockie Suryprayogo dan penata kamera ditangani oleh orang
senior dalam film kita, seperti mendiang Soetomo Gandasubrata yang bisa
dibilang melahirkan nyaris seluruh juru kamera yang aktif di perfilman
Indonesia saat ini.
Koherensi tema
Film
yang judulnya diambil dari nama kelompok musik yang terdiri dari Iwan
Fals, Sawung Jabo, Donny Fatah, Inisisri, dan Setiawan Djodi serta WS
Rendra bisa dianggap sebagai sebuah bentuk dokumenter yang
eksperimental. Dasar dokumenter itu adalah konser kelompok musik ini di
Stadion Utama Senayan (sebutan Gelora Bung Karno waktu itu) yang direkam
dengan 30 kamera film! (Rasanya ini rekor lain lagi buat film
Indonesia).
Rekaman
konser yang megah itu ditambah dengan dokumentasi seputar konser itu
dan berbagai dokumentasi lain. Selain itu, ada juga konstruksi fiktif
penuh simbol dan rekaman pembacaan puisi yang didramatisasi. Jadilah ini
sebuah campur aduk antara footage dokumenter, adegan-adegan fiksi, dan footage rekaman deklamasi sajak-sajak yang dilakukan di setting yang dirancang khusus.
Bisa
dibilang tak ada ”cerita” dalam pengertian yang konvensional dalam film
ini. Kekisahan film ini bercampur antara dokumenter dan fiksi, antara
rekaman spontan dengan pembacaan puisi di lokasi yang ditata seakan
sebuah ruang pengadilan. Beberapa footage dokumenter itu bahkan demikian mentahnya, seperti adegan rekaman workshop kelompok
musik Kantata Takwa ketika para anggotanya sedang berdikusi tentang
mengapa kelompok ini perlu ada dan apa yang sesungguhnya akan mereka
tampilkan; hingga ke dokumentasi percakapan Iwan Fals dengan anak-anak
kecil yang tampak dipersiapkan dengan baik (staging).
Kosa
gambar itu berjalan sendiri-sendiri bagai tak membentuk pola apapun.
Tak terlihat adanya pembabakan dan progresi plot, sekalipun berdasarkan
topik ataupun bahkan mood. Bahkan benang merah berupa perempuan
berjilbab yang menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa fiksi dalam film
ini juga tampil tak berpola sekalipun secara konstan menampilkan mood yang tak bergeser kelewat jauh dari cemas-gelisah-kuatir –seakan sedang menatap masa depan yang tak pasti.
Sekalipun
bentuk film ini demikian inkoheren, tapi karya ini tetap terasa
mengejar koherensi dalam tema. Hal itu tampak pada dua hal: sandaran
figur-figur dalam film itu dan simbolisme yang mereka gunakan.
Manusia-manusia dalam film ini lebih tepat disebut sebagai figur
ketimbang karakter. Karakter biasanya berangkat dari keberadaan latar
belakang kehidupan dan aspirasi yang kemudian mendorong terciptanya
semacam motivasi yang mendorong kisah. Pada Kantata, para tokoh
ini tampil sangat figuratif. Karakter mereka memang sengaja dibuat tak
bermotivasi. Yang tampil adalah posisi kultural-politis mereka yang
menonjol saat itu. Penonton diharapkan kenal dengan mereka lewat
berbagai referensi nonsinematis.
Sedangkan simbolisme pada Kantata mengacu
pada dekade 1990-an (dan sebelumnya) yang kerap menjadi agenda
perlawanan para figur yang ada dalam film itu. Adegan-adegan seperti
penembakan di hutan-hutan oleh orang bertopeng, pencabutan gigi oleh
tentara, pengadilan oleh hakim berwajah palsu terhadap penulis puisi dan
deklamator merupakan agenda kritik terhadap negara dekade 1980-1990-an.
Apa yang diungkapkan Kantataadalah semacam pasemon kritik tersebut; yang juga sempat dilakukan oleh penulis cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk yang lebih terus terang.
Ungkapan
lewat simbol perempuan berjilbab dalam Kantata juga milik dekade
1990-an. Dalam konteks awal 1990-an, perempuan berjilbab adalah semacam
perlawanan yang jelas sekali terhadap otoritas negara. Pengusiran
pelajar berjilbab di sekolah-sekolah merupakan persoalan besar hingga
akhir dekade 1980-an, sehingga kemudian jilbab menjadi semacam
perlawanan terhadap represi negara lewat rangkaian demonstrasi
(bersamaan dengan demonstrasi anti-SDSB) dan kegiatan budaya macam
pembacaan puisi ”Lautan Jilbab” di beberapa panggung oleh
penyair-kolumnis Emha Ainun Najib.
Figur
dan ungkapan simbolis yang tampil dalam film ini membentuk sebuah
mayapada dengan acuan koheren dan jelas. Film ini bicara nyaring dalam
konteks tertentu. Acuan pada konteks dan kelindannya dengan seluruh
elemen kekisahan film ini menghasilkan koherensi yang tak terhindarkan
pada tema. Maka menonton film ini bagai masuk ke kapsul waktu yang
melontarkan saya ke dekade 1990-an.
Masihkah relevan?
Asumsi yang digunakan sebagai landasan untuk membangun tema Kantata adalah
model perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru dekade 1990-an. Pada
dekade itu, konsolidasi ideologi Orde Baru sudah rampung dan kekuasaan
negara dioperasikan hingga ke mana-mana. Operasi itu berasal dari sumber
tunggal yang bernama Soeharto. Orientasi kekuasaan adalah Soeharto,
karena sudah tak ada lagi lawan politik yang relatif sejajar dengannya
dengan kekalahan penentang-penentang seangkatannya (atau yang sedikit di
bawahnya) dan semua yang berhasil mendekati pusat kekuasaan adalah yang
paling dekat secara ideologis dengannya. Mesin penggerak birokrasi dan
kemasyarakatan juga berpusar pada orientasi serupa, sesudah negara
mengalami korporatisasi seperti yang biasa terjadi pada negara-negara
fasis. Maka kekuasaan Soeharto menjadi pemegang kekuasaan yang omnipresent karena seluruh operasi kekuasaan berorientasi kepadanya.
Kantata Takwa bicara
dengan sebuah asumsi semacam itu. Mesin operasi kekuasaan menjangkau
bahkan hingga ke tempat-tempat yang musykil seperti mimpi manusia. Maka
mencatat mimpi pun menjadi sangat penting demi melawan kekuasaan yang
semengerikan itu (sebelum bermimpi dilarang, ungkapan yang akrab pada
dekade itu). Lihat misalnya bayangan manusia bertopeng gas yang
menembaki orang di hutan-hutan atau pun ketika ketika Iwan Fals bermimpi
giginya dicabuti oleh tentara agar ia tak bisa bernyanyi lagi. Apatah
lagi pengadilan politik terhadap estetika seperti yang dialami oleh Si
Burung Merak, Rendra. Pengadilan sebagai lembaga yang seharusnya suci
dipenuhi oleh kemunafikan. Tampak sekali film ini menunjukkan gesture jijik terhadap lembaga pengadilan.
Tapi
masihkah kekuasaan serbamaha yang tunggal macam tuhan itu beroperasi
dengan cara seperti yang dialami dan dibaca oleh seniman dekade lalu
ini? Inilah pertanyaan yang mengguyahkan gagasan dasar film ini ketika
ia lahir sebagai produk tahun 2008. Indonesia pascareformasi justru
ditandai dengan fragmentasi luar biasa dalam berbagai usaha meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Operasinya dalam kehidupan sosial budaya juga
demikian beragam dengan agenda yang tak tampak beraturan. Perlawanan
ideologi dan politik dalam arena kekuasaan yang pernah menjadi begitu
penting, mungkin kini kalah penting dibandingkan dengan perjuangan untuk
menampilkan sebuah ideologi pinggiran dalam sebuah film mainstream –yang kemudian menghasilkan pembicaraan publik mengenai substansinya.
Agenda
politik dalam kesenian mungkin kini lebih cair dan tak semata melawan
atau tunduk pada penyelewengan kekuasaan. Perjuangan politik mungkin
kini agak tak disadari oleh para seniman –sekalipun aneh rasanya, ada
seniman yang tak sadar akan implikasi politis karya mereka sendiri.
Artikulasi juga sudah berubah seiring agenda untuk mengelak dari
jebakan-jebakan pengulangan bentuk. Arena pertarungan juga sudah tak
lagi pada tingkat pembentukan wacana dan narasi besar yang akan menghela
seluruh gerbong bernama negara bangsa, tetapi menghadirkan
cerita-cerita kecil guna melakukan semacam gerilya budaya yang secara
tiba-tiba bisa menyeruak dalam pembicaraan publik yang serius, atau
malah jadi kebijakan.
Maka ketika Kantata Takwa meletakkan asumsi adanya satu despot yang omnipresent dan
beroperasi dari sumber yang tunggal, ia terasa menjadi sebuah artefak
sejarah politik. Ia hanya mudah dikenali sebagai sebuah perlawanan
terhadap model kekuasaan Soeharto dan sulit diacu pada model persoalan
kekuasaan sekarang ini. Soalnya sesederhana bahwa panggung sudah berubah
dan pentas yang dimainkan adalah lakon lama.
Demikian
pula halnya dengan ungkapan jilbab sebagai bentuk perlawanan. Jilbab
saat ini sudah bertransformasi, tak lagi mewakili identitas ketakwaan
seperti yang ingin disampaikan oleh film ini. Jilbab, bahkan di beberapa
tempat, kini menjadi representasi dari represi ketika sekolah-sekolah
mewajibkan para pelajar perempuan berjilbab, bahkan termasuk mereka yang
beragama non-Islam. Maka ungkapan-ungkapan perlawanan simbolis yang
diajukan oleh Kantata Takwa sesungguhnya memang tertinggal di dekade 1990-an, Indonesia sebelum reformasi.
Ungkapan
Apakah strategi estetika Kantata masih bisa bekerja dalam panggung yang sudah berubah ini? Sebagai sebuah karya eksperimental, Kantata cukup menjanjikan. Seperti dikatakan di atas, film ini justru menghadirkan inkoherensi dalam kosa gambar dan cara ungkap.
Dalam
film model ini, sebenarnya penonton diminta untuk membuat rambu-rambu
personalnya sendiri. Dengan demikian ia akan bisa mengacu kepada
pengalaman-pengalaman subjektif penonton. Maka terciptalah sebuah
pemaknaan arbitrer pada karya ini. Dengan model pembacaan subjektif
seperti ini, diharapkan penonton memberi makna baru sama sekali yang
bahkan berlainan dengan niatan para kreator.
Namun sayangnya Kantata Takwa tidak
diniatkan untuk menjadi karya seperti itu (sekalipun mungkin seharusnya
dibaca begitu). Seperti sudah dikatakan di atas, tema film ini koheren
sekali. Acuan simbol Kantata Takwa kelewat jelas, bahkan
vulgar. Film ini menggunakan estetika puisi pamflet Rendra dan teriakan
lagu jalanan Iwan Fals yang terasa ”marah” di awal dekade 1990-an, bukan
Iwan Fals yang penuh canda seperti di awal masa karirnya. Kemarahan dan
munculnya gesture jijik sesekali dalam film ini serasa tak memberi ruang cukup buat penonton.
Namun
untunglah sutradara film ini cukup jeli menangkap figur Iwan Fals.
Ruang lebih luas diberikan sesekali oleh figur ini. Perhatikan adegan
diskusi mengenai rencana pembentukan grup musik Kantata Takwa. Dalamfootage diskusi
yang singkat itu, Iwan menyatakan keengganannya jika kelompok ini
”berdakwah” dalam pengertian yang sempit. Iwan mungkin marah pada
keadaan, tapi ia tak ingin menyatakan bahwa kemarahannya itulah
satu-satunya yang sah dengan mendakwahkannya; berbeda sekali dengan
sikap Rendra (dan film ini secara keseluruhan) yang bahkan menghakimi
balik penghakiman terhadapnya.
Demikian
pula percakapan Iwan dengan anak-anak di tepi kali kecil. Iwan
memperlihatkan sikap seorang seniman rendah hati yang berposisi
sederajat dengan anak-anak yang mandi telanjang di kali itu. Ia
bernyanyi bersama dan melawan kesewenang-wenangan (masa itu) dengan
riang dan tetap bersuara tegas. Maka transformasi teriakan ”Bento!” dari
anak-anak itu menjadi teriakan massa di Stadion Utama Senayan bagaikan
melihat transformasi kekecewaan yang tulus para mahasiswa di tahun 1998
yang berubah menjadi kekuatan massa untuk menjatuhkan Soeharto.
Pada
titik inilah inkoherensi cara ungkap film ini jadi cukup memberi
keragaman dan ruang. Jika tidak, simbolisme yang vulgar, tema yang so last decade dan kemarahan dan gesture kejijikan
akan membuat film ini jadi semacam rejim estetika yang memaksa penonton
dengan klaim kebenarannya. Padahal secara umum saja, Kantata Takwadengan segala ketidakakraban kekisahannya sudah melakukan seleksi awal yang ketat terhadap publik.
Klise
Sudah pasti KantataTakwa bukan
produk populer. Namun secara sinematis, ia akan memberikan pertanyaan
terhadap ungkapan estetika para pembuat film Indonesia masa kini.
Kapankah sineas Indonesia bisa mengungkapkan apa saja yang
diinginkannya, hingga bahkan nyaris mencapai taraf nonsens (Gotot mengakatan hal ini langsung pada saya: film ini sempat terendam banjir tapi gak papa, jadinya gambarnya malah asyik…) tanpa adanya halangan sama sekali?
Baiklah,
di balik film ini ada uang taipan minyak yang nyaris tak terbatas
ketika itu (bayangkan: 30 kamera!) tapi bukankah sumber dana untuk karya
yang bebas tak pernah dibatas-batasi harus berasal dari kantong
sendiri? Yang justru menarik ditanyakan adalah: akan seperti apa jadinya
film ini seandainya Setiawan Djody ikut serta dalam penyelesaiannya.
Mungkin
film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak
sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik,
apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan
tentangnya yang rasanya sdpi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan
tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di
Singapura.
Namun Kantata tetap
mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris
se-revolusioner Che Guevara. ”Kepahlawanan” mereka sekarang ini mungkin
lebih menarik jadi gimmick untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini
tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman
menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika
para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan
konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: