Sabtu, 22 September 2012

Soe Hok Gie: Kegelisahan tanpa Ujung

Diposting oleh Unknown at 20.45
Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.

Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka rehat. Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.
“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”

Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
* * *
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiositas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. Apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di keluarga pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
* * *
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (kini Menteri Peranan Wanita kabinet SBY-Kalla).”
Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan kepada pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” katanya.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “Mat Gawat”, seseorang yang melihat persoalan dengan kacamata selalu dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of drama-nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966. Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”
* * *
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsep Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. Sang koboi turun ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI. Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini. There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian) tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra.
(Sumber: Tempo Online, 11 JULI 2005, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno)


If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!


Kindly Bookmark and Share it:

YOUR ADSENSE CODE GOES HERE

0 komentar:

Have any question? Feel Free To Post Below:

Blog Archive

 

Popular Posts

Recent Comments

© 2011. All Rights Reserved | Orang Indonesia | Template by Blogger Widgets

Home | About | Top